Selasa, 28 April 2015

Jakarta – Jogja



Kali ini kita putuskan untuk naik kereta, soalnya lebih irit. Yang sebenarnya, naik kereta itu ada sensasi tersendiri. Dengan kereta, kita bisa berjalan selayaknya bus untuk melewati titik demi titik menuju titik tujuan. Memakai kereta kelas ekonomi juga sudah cukup nyaman, tidak terlalu mahal dan cukup kondusif untuk melakukan banyak hal saat perjalanan.
 
Sebelumnya, ada yang tak suka menjalani perjalanan? Sebuah proses panjang yang terkadang membutuhkan kesabaran. Bukan terkadang, jelas iya butuh. Ya ini satukan persepsi perjalanan yang bisa dibilang jarak jauh dulu ya. Perjalanan yang bisa membuat kita lebih mendekat atau lebih menjauh dari-Nya. 

Sebuah perjalanan adalah proses. Dimana kita dikondisikan diberi nikmat untuk tetap berada dalam kendaraan, bisa bus atau kereta atau pesawat. Nah perjalanan terkadang menjadi satu ujian bagi mereka yang menjalaninya.

Pertama sebelum perjalanan, ujian niat. Apa niat kita dalam perjalanan? Dilain hal kita mengunjungi suatu tempat untuk sebuah urusan tentu kita harus memahami bahwa apapun niatnya itu yang kita dapatkan. Misal saja kita melakukan perjalanan untuk sebuah urusan amanah, tentu hal yang harus kita luruskan adalah niatnya, Lillah. Benar-benar kita melakukan perjalanan untuk menunaikan amanah.

Kedua saat perjalanan, kamu melakukan apa? Proses perjalanan terkadang kita harus pintar-pintar mengatur semuanya. Urusan makan, urusan sholat, urusan kesehatan. Semua adalah ujian bagi yang melakukannya. Urusan yang ingin aku bahas disini adalah urusan sholat yang mungkin saja terkadang jadwa keberangkatan tidak sesuai dengan waktu-waktu sholat. Maka sebelum melakukan perjalanan jauh, seharusnya kita mengilmui supaya perjalanan kita barokah dan baik. Sesuai aturanNya. Sehingga jangan sampai kita melalaikan hak-hak Allah saat perjalanan. Begitu juga urusan makan, dimana harus memperhatikan halal dan baiknya. Sebelum perjalanan kita juga bisa melakukan banyak hal yang bermanfaat. Misalnya memiliki target membaca buku, membaca Al-Quran, atau berbicara dengan orang disamping duduk kita untuk silaturakhim. Begitu naa...

Perjalanan adalah hal yang menyenangkan dan membahagiakan bagi mereka yang bersiap. Apalagi kita bisa melatih kepekaan hati, mata, telinga untuk melihat setiap ciptaan-Nya. Dan kita bisa berdoa untuk kebaikan yang bisa kita berikan untuk orang-orang disekitar kita. BarokaLlahu fii safarik ...

Ditulis disaat perjalanan menggunakan kereta Jakatingkir, Jakarta-Jogja
26 April 2015

Penawaran Jakarta




Keras, kata terlontar setiap terdengar
Kota Jakarta
Ah, tidak juga
Langit malam itu
Walau tak satupun tersematkan bintang
Tetap saja indah dengan gemerlap
Lampu sepanjang jalan
Begitu juga, ketika ditampakkan
Tegaknya bangunan-bangunan tinggi
Menambah kesan yang mengagumkan
Terlihat banyak kesibukan didalam gedung-gedung itu
Padahal jam sudah larut malam
Kesibukan yang tak henti
Membuatnya telah membuat hidup sepanjang hari
Jakarta
Kota ini bukan tempat “tujuan” kelak
Mungkin hanya menjadi kota perantara

Sesungguhnya ciptaan manusia saja bisa begitu indah
Apalagi ciptaanNya kelak di Surga
Bangunan yang Allah peruntukkan
Untuk mereka yang melakukan perjalanan
Demi mendekat padaNya

Ditulis di Stasiun Pasar Senen Jakarta, 26 April 2015
Sambil menunggu keberangkatan menuju kota yang istimewa, Yogyakarta

Penawaran Aceh




Yogyakarta-Aceh, ia harus ditempuh dengan waktu yang tak singkat. Kalau dari Jogja kita harus transit di Bandara Koalanamu Medan, kemudian baru ke Banda Aceh, Bandara Sultan Iskandar Muda. Ya, sebenarnya kalau mau irit berangkat dari jakarta.  Tujuan perjalanan kami satu, berusaha seoptimal mungkin menunaikan amanah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta dan memajukan Ikatan Senat Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Indonesia. 

Aceh, Kota Serambi Mekkah begitu julukannya. Kota ini pun menawarkan banyak hal untuk kita ambil hikmahnya sebagai pelajaran. Teringat sebuah tragedi besar, Tsunami Aceh yang menelan hampir 150.000an orang dimana sepertiganya adalah anak-anak? Bencana itu pasti meninggalkan bekas di hati-hati mereka, tentu juga kita. Memberi penyaksikan betapa mudahnya Allah memerintahkan seluruh alam ini sesuai kehendakNya, sempurna. 

Kota Aceh, adalah kota yang oleh pemerintahanya menerapkan aturan-aturan Islam. Salah satunya adanya polisi WH (saya lupa nama kepanjangan). Polisi yang setiap waktu beroperasi disekitar aceh untuk memastikan warga aceh menerapkan aturan Islam. Sepanjang perjalanan di Aceh, kami pun tidak menemukan wanita tak memakai jilbab. Semua memakai jilbab. 

Sebelum berangkat ke Aceh, kami mendapat beberapa gambaran sedikit tentang aceh. Salah satunya aturan pemakaian rok bagi wanita. Ternyata memang benar. Pemakaian rok adalah wajib di Aceh, terutama di sekitar Masjid Baiturrahman. Sebuah masjid yang bersejarah bukan? Ia tetap tegak, tanpa tergenang air sedikitpun ketika Tsunami menghantam kota bagian barat Indonesia ini. Masjid yang menjadi saksi kebesaran Allah. Warga yang berlindung di masjid ini, pun Allah taqdirkan tetap selamat. 

Titik Aceh yang wajib dikunjungi menurutku adalah Masjid Baiturrahman. Bagi yang ingin shalat di Masjid Baiturrahman, pastikan memakai pakaian yang menutup aurat.  Untuk muslimah, tidak boleh celana, karena kalau tetap melanggar penjaga masjid tak segan-segan akan mengusir. Atau kalau sewaktu ada patroli polisi WH, tak segan-segan pula pulang dalam keadaan celana disobek. Ada juga sebuah aturan ikhtilat atau berdua-duaan antara wanita dan laki-laki yang bukan mahram, ia akan mendapatkan hukuman cambuk. Ada waktu khusus di Aceh untuk melakukan hukuman cambuk. 

Ada kendaraan khusus yang cukup terjangkau jika ingin jalan-jalan di kota Aceh dibeberapa titik. Sebut saja Labi-Labi. Kalau di Aceh, jangan terlihat seperti orang yang bingung, karena beberapa kali pengalaman, harga akan dinaikkan. Labi-labi adalah kendaraan roda empat, semacam pick up, yang sudah ada penutup bagian belakang. Ya, minimal 2 ribu bisa satu kali perjalanan dari Pasar Aceh sampai Museum Tsunami Aceh. Ingat jangan terlihat galau alias bingung. 

Karena terbatasnya waktu, kami hanya melihat adanya sebuah perahu yang sangat bersejarah kala itu. Ia menyelamatkan juga beberapa orang saat Tsunami Aceh. Ombak yang begitu besar, kapal pembangkit tenaga listrik ini terseret sepanjang 7 km dari pinggir pantai Aceh. Kota ini sekarng sudah mulai bangkit, semenjak beberapa tahu silam. 

Kota Aceh, kau menawarkan kepada kami bahwa kami ini siapa kalau berani-beraninya sombong terhadap hal-hal yang sejatinya bukan milik kami? Kami tak berdaya, atas segala apa yang terjadi kecuali atas daya-Mu karena Engkau menginginkan kami dalam kondisi yang terbaik. 

Ditulis di Stasiun Pasar Senen Jakarta, 26 April 2015
Sambil menunggu keberangkatan menuju kota yang istimewa, Yogyakarta