Menikah
adalah sesuatu yang harus dipersiapkan dengan baik. Tak sekedar persiapan harta
tentunya, ilmu yang paling penting. Menikah ada ilmunya, sehingga ia tidak
menjadi sia-sia dimata-Nya. Keputusan menikah mungkin bahkan memang oleh
kebanyakan sebuah hal yang sangat penting dalam hidupnya. Karena ia tak sekedar
sebentar saja jika memang diizinkan oleh Allah, namun sampai Allah menakdirkan
sampai berhentinya di dunia, lanjut ke SurgaNya.
Ya, bagiku
menikah juga menjadi keputusan yang besar, dan perlu persiapan besar. Mulai
dari niat, yang hanya dan hanya ditujukan kepada Allah, senantiasa dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah. Senantiasa menjaga niat hanya untuk lebih
terjaga dari dosa-dosa mata, hati, dan lain-lain, sehingga kita mudah
mengingatNya, kemudian beribadah semampu kita untukNya.
Persoalan
menikah memang tidak mudah, tapi nampaknya jangan pula dipikir terlalu rumit.
Jika kita yakin kepada Allah tentang urusan kita yang bernama “menikah” dan
kita berusaha sesuai aturanNya, Insyaallah Allah yang akan menjamin kehidupan
kita lebih baik dan sholih, kelak.
Lantas siapa
yang kita (aku) harapkan datang? Tentu kita semua sudah sering memahami apa
yang disampaikan oleh Allah dalam Al-Quran. Bahwa lelaki baik untuk wanita yang
baik, begitu sebaliknya. Dimana ukuran baik dan tidak baik, hanya Allah yang
tau. Maka ketika kita mengharapkan seseorang bernama Ali bin Abi Thalib, maka
kita boleh berkaca pada Fatimah. Apabila kita menginginkan lelaki seperti
Rasulullah dengan akhlaknya yang begitu mulia serta misi dalam hidupnya yang
ditujukan untuk kebaikan ummat, maka bersiaplah menjadi Khadijah yang begitu
tangguh dengan hartanya, akhlaknya, dan banyak hal lain darinya. Atau seperti
Aisyah dengan kecerdasannya? Nah, tentu sebelum kita mengharapkan siapa yang
datang, kita terlebih dahulu senantiasa memperbaiki diri. Ohya, mari luruskan
niat. Bukan untuk mengharap jodoh itu siapa, tapi Allah ridho dengan apa yang
kita hajatkan untuk kebaikan semuanya.
Siapa yang
kita (aku) harapkan? Tentu dimulai dari agamanya. Ia paham bahwa hidup ini
termasuk menikah adalah sesuatu yang harus dikerjakan sesuai aturan Islam.
Bahwa hidup ini semata hanya untuk beribadah kepadaNya. Mulai dari
membahagiakan pasangan, bekerja untuk keluarga, mendidik anak, menafkahi secara
lahir dan batin bagi keluarganya, semuanya hanya diniatkan untuk Allah. Ya,
mulai dari sini, semua akan baik-baik saja Insyaallah. Hidup bersama mereka
yang selalu menghibahkan diri untuk urusan-urusan kebaikan.
Siapa yang
kita harapkan? Tentu lagi mulai dari agamanya. Ia paham bahwa dirinya
adalah lelaki, pemimpin keluarganya. Ia adalah nahkoda kapal yang akan memimpin
kemana arah kapal ini berlayar. Ia paham bahwa kedua pundaknya harus siap untuk
anak dan istrinya. Ia paham bahwa dia adalah seseorang yang menjadi guru dalam
keluarganya, mengajarkan apapun yang baik untuk keluarganya. Ia paham bahwa
istrinya adalah seorang wanita yang tidak cukup tangguh setangguh dirinya,
sehingga ia perlu mendukung apapun yang dikerjakan istrinya asalkan sesuai
batasan-batasan aturan Allah. Ia sadar bahwa istrinya adalah seseorang wanita
yang memiliki tugas utamanya didalam rumah, mengurus anak dan segala isinya.
Siapa yang
kita harapkan? Dia yang juga punya cita-cita dalam hidupnya. Cita-cita
yang tidak hanya untuk dirinya saja, tapi keluarganya, bahkan ummat. Dengan
apapun ilmunya ia miliki, ia hanya berfikir bagaimana dengan ilmu yang ia
usahakan dan pahami untuk kebaikan banyak orang. Menjadi tauladan dengan
ilmunya bahwa ummat muslim harus hidup mulia dengan ilmu.