Iman itu terkadang menggelisahkan.
Atau setidaknya menghajatkan
ketenangan yang mengguyuri hati dengan terkuaknya keajaiban. Mungkin itu yang
dirasakan Ibrahim ketika dia meminta kepada Rabbnya untuk ditunjukkan bagaimana
yang mati dihidupkan. Maka saat Rabbnya bertanya, “Belum yakinkah engkau akan
kuasaKu?”, dia menjawab sepenuh hati, “Aku yakin. Hanya saja agar hati ini
menjadi tenteram.”
Tetapi keajaiban itu tak datang
serta merta di hadapannya. Meski Allah bisa saja menunjukkan kuasaNya dalam
satu kata “Kun!”, kita tahu, bukan itu yang terjadi. Ibrahim harus bersipayah
untuk menangkap lalu mencincang empat ekor burung. Lalu disusurnya jajaran
bukit-berbukit dengan lembah curam untuk meletakkan masing-masing cincangan.
Baru dia bisa memanggilnya. Dan beburung itu mendatanginya segera.
Di sinilah rupanya keajaiban itu.
Setelah kerja yang menguras tenaga.
Tetapi apakah selalu kerja-kerja
kita yang akan ditaburi keajaiban?
Hajar dan bayinya telah ditinggalkan
oleh Ibrahim di lembah itu. Sunyi kini menyergap kegersangan yang membakar.
Yang ada hanya pasir dan cadas yang membara. Tak ada pepohon tempat bernaung.
Tak terlihat air untuk menyambung hidup. Tak tampak insan untuk berbagi kesah. Keculai
bayi itu. Isma’il. Dia kini mulai menangis begitu keras karena lapar dan
kehausan.
Maka Hajar pun berlari, mencoba
mengais jejak air untuk menjawab tangis putera semata wayangnya. Ada dua bukit
di sana. Dan dari ujung ke ujung coba ditelisiknya dengan seksama. Tak ada.
Sama sekali tak ada tanda. Tapi dia terus mencari. Berlari. Bolak-balik tujuh
kali. Mungkin dia tahu, tak pernah ada air di situ. Mungkin dia hanya ingin
menunjukkan kesungguhannya pada Allah. Sebagaimana telah ia yakinkan sang
suami, “Jika ini perintah Allah, Dia takkan pernah menyia-nyiakan kami!”
Maka kejaiban itu memancar. Zam zam!
Bukan. Bukan dari jalan yang dia susuri atau jejak-jejak yang dia torehkan di
antara Shafa dan Marwa. Air itu muncul justru dari kaki Isma’il yang bayi. Yang
menangis. Yang haus. Yang menjejak-jejak. Dan Hajar pun takjub. Begitulah
keajaiban datang. Terkadang tak terletak dalam ikhtiar-ikhtiar kita.
Mari belajar pada Hajar bahwa makna
kerja keras itu adalah menunjukkan kesungguhan kita kepada Allah. Mari bekerja
keras seperti Hajar dengan gigih, dengan yakin. Bahwa Dia tak pernah
menyia-nyiakan iman dan amal kita. Lalu biarkan keajaiban itu datang dari jalan
yang tak kita sangka atas kehendakNya yang Maha Kuasa. Dan biarkan keajaiban
itu menenangkan hati ini dari arah manapun Dia kehendaki.
Bekerja saja. Maka keajaiban akan
menyapa dari arah tak terduga.
Di lintas sejarah berikutnya,
datanglah seorang lelaki pengemban da’wah untuk menjadi ‘ibrah. Dari Makkah,
dia berhijrah ke Madinah. Tak sesuatupun dia bawa dari kekayaan melimpah yang
pernah memudahkannya. Dia, ‘Abdurrahman ibn ‘Auf. Dan Rasulullah yang tahu gaya
hidupnya di Makkah mempersaudarakannya dengan seorang lelaki Anshar kaya raya.
Sa’d ibn Ar Rabi’.
Kita hafal kemuliaan kedua orang
ini. Yang satu menawarkan membagi rata segala miliknya yang memang berjumlah
dua; rumah, kebun kurma, dan bahkan isterinya. Yang satu dengan bersahaja
berkata, “Tidak saudaraku.. Tunjukkan saja jalan ke pasar!”
Dan kita tahu, dimulai dari semangat
menjaga ‘izzah, tekadnya untuk mandiri, serta tugas suci menerjemahkan nilai
Qurani di pasar Madinah, terbitlah keajaiban itu. ‘Abdurrahman ibn ‘Auf memang
datang ke pasar dengan tangan kosong, tapi dadanya penuh iman, dan akalnya
dipenuhi manhaj ekonomi Qurani. Dinar dan dirham yang beredar di depan matanya
dia pikat dengan kejujuran, sifat amanah, kebersihan dari riba, timbangan yang
pas, keadilan transaksi, transparansi, dan akad-akad yang tercatat rapi.
Sebulan kemudian dia telah menghadap
Sang Nabi dengan baju baru, mewangi oleh tebaran minyak khaluq yang
membercak-bercak. “Ya Rasulallah, aku telah menikah!”, katanya dengan
sesungging senyum. Ya, seorang wanita Anshar kini mendampinginya. Maharnya emas
seberat biji kurma. Walimahnya dengan menyembelih domba. Satu hari, ketika
40.000 dinar emas dia letakkan di hadapan Sang Nabi, beliau bersabda, “Semoga
Allah memberkahi yang kau infaqkan juga yang kau simpan!”
Kita mengenangnya kini sebagai
lelaki yang memasuki surga sambil merangkak.
Di mana titik mula keajaiban itu? Mungkin
justru pada keberaniannya untuk menanggalkan segala kemudahan yang ditawarkan.
Dalam pikiran kita, memulai usaha dengan seorang isteri, sebuah rumah tinggal,
dan sepetak kebun kurma seharusnya lebih menjanjikan daripada pergi ke pasar
dengan tangan kosong. Tetapi bagi ‘Abdurrahman ibn ‘Auf agaknya itu justru
terlihat sebagai belenggu. Itu sebuah beban yang memberati langkahnya untuk
menggapai kemuliaan yang lebih tinggi. Keajaiban itu datang dalam keterbatasan
ikhtiyar keras si tangan kosong. Bukan pada kelimpahan yang ditawarkan
saudaranya.
Memulai dengan tangan kosong seperti
‘Abdurrahman ibn ‘Auf seharusnya menjadi penyemangat kita bahwa itu semua
mudah. Mungkin dan bisa. Tetapi apakah kemudahan itu? Suatu hari dalam
perjamuan Raja Ferdinand dan Ratu Isabella, semua orang mencibir perjalanan
Columbus menemukan dunia baru sebagai hal yang sebenarnya sangat mudah. Tinggal
berlayar terus ke barat. Lalu ketemu.
Christopher Columbus tersenyum dari
kursinya. Diambil dan ditimangnya sebutir telur rebus dari piring di depannya.
“Tuan-tuan”, suaranya menggelegar memecah ricuh bebisikan. “Siapa di antara
kalian yang mampu memberdirikan telur ini dengan tegak?”
“Christopher”, kata seorang tua di
sana, “Itu adalah hal yang tidak mungkin!”
Semua mengangguk mengiyakan.
“Saya bisa”, kata Columbus. Dia
menyeringai sejenak lalu memukulkan salah satu ujung telurnya sampai remuk.
Lalu memberdirikannya.
“Oh.. Kalau begitu, kami juga
bisa!”, kata seseorang. “Ya.. ya.. ya..”, seru yang lain. Dan senyum Columbus
makin lebar. Katanya, “Itulah bedanya aku dan kalian Tuan-tuan! Aku memang
hanya melakukan hal-hal yang mudah dalam kehidupan ini. Tetapi aku melakukannya
di saat semua orang mengatakan bahwa hal mudah itu mustahil!”
Nah, para pengemban da’wah,
bekerjalah. Maka keajaiban akan menyapa dari arah tak terduga. Mulailah. Karena
dalam keberanian memulai itulah terletak kemudahannya. Bukan soal punya dan tak
punya. Mampu atau tak mampu. Miskin atau kaya. Kita bekerja, karena bekerja
adalah bentuk kesyukuran yang terindah. Seperti firmanNya;
..Bekerjalah hai keluarga Daud,
untuk bersyukur. Dan sedikit sekali di antara hambaKu yang pandai
bersyukur. (QS Saba’: 13)
sepenuh cinta,
Salim A. Fillah
diambil dari salimafillah.com/bekerja-maka-keajaiban/