Minggu, 15 Januari 2012

Teruntuk teman-teman mahasiswa yang menginginkan Indonesia sehat, tak hanya sehat fisik, tetapi secara moral dan perilaku.

“Tidak ada jalan untuk melarikan diri! Laut di belakang kalian, dan musuh di depan kalian. Demi Allah, tidak ada yang dapat kalian lakukan sekarang kecuali besungguh-sungguh penuh keikhlasan dan kesabaran!”

Begitu kata Sang Panglima Thariq bin Ziyad saat pasukan sudah terkepung oleh musuh. Memang tak ada jalan lain, kecuali maju. Mundur dengan kekalahan oleh musuh atau maju dengan lindungan Allah? Begitulah keputusan sang panglima, meyakinkan anak buahnya untuk benar-benar ikhlas berperang di jalan Allah.

Pemimpin tidak akan bisa memimpin orang lain jika dirinya saja susah untuk memimpin diri sendiri. Bagaimana tidak, memimpin sebuah aktivitas keseharian saja masih mengeluh. Banyak tugas, musti begadang ngerjain tugas, padahal kalau di ibaratkan itu bukan dari tugas kampus, melainkan tugas kampus kehidupan, apa jadinya kehidupan ini? Kondisi semrawut, tak teratur.

Ketegasan dan sikap keras yang harus ditujukan pada diri kita adalah hal utama untuk memperbaiki kehidupan sekarang ini. Ketegasan niat, siap untuk berjuang walaupun sampai berdarah-darah, beraninya untuk meninggalkan zona nyaman, adalah hal yang seharusnya ditanamkan pada tiap diri mahasiswa sekarang. Bagaimana tidak? Sekarang kita memiliki posisi yang strategis untuk membuat sebuah perubahan. Ya, perubahan. Perubahan kearah lebih baik tentunya.

Sungguh, Indonesia saat ini membutuhkan temen-temen untuk bergerak. Bergerak menggerakan kesemrawutan ini menuju keteraturan. Berharap bukan menjadi pengekor, namun PELOPOR. Juga bukan berharap akan tertinggal sejarah peadapan, namun sebagai salah satu nama-nama yang tergores dalam cetakan sejarah.

Tak ada yang instan teman, semua butuh proses. Untuk menjadi seseorang seperti halnya akhlak Tariq bin Ziyad, membutuhkan waktu untuk belajar menempa diri sehingga kuat dan tegar. Diri kita pun tak semestinya merasa “sudah cukup untuk belajar” yang terkadang berorientasi belajar dikampus, padahal sesungguhnya kampus yang sebenarnya adalah “UNIVERSITAS KEHIDUPAN”. Dimana salah satunya kita belajar untuk mengemban amanah sebagai mahasiswa, lantas kemudian berkontribusi untuk INDONESIA.
Bersama-sama meraih Ridlo-Nya dengan melakukan yang terbaik untuk negri!
Semangat Dahsyat untuk PERUBAHAN!
Atik Setyoasih

Teruntuk teman-teman mahasiswa yang menginginkan Indonesia sehat, tak hanya sehat fisik, tetapi secara moral dan perilaku.

“Tidak ada jalan untuk melarikan diri! Laut di belakang kalian, dan musuh di depan kalian. Demi Allah, tidak ada yang dapat kalian lakukan sekarang kecuali besungguh-sungguh penuh keikhlasan dan kesabaran!”

Begitu kata Sang Panglima Thariq bin Ziyad saat pasukan sudah terkepung oleh musuh. Memang tak ada jalan lain, kecuali maju. Mundur dengan kekalahan oleh musuh atau maju dengan lindungan Allah? Begitulah keputusan sang panglima, meyakinkan anak buahnya untuk benar-benar ikhlas berperang di jalan Allah.

Pemimpin tidak akan bisa memimpin orang lain jika dirinya saja susah untuk memimpin diri sendiri. Bagaimana tidak, memimpin sebuah aktivitas keseharian saja masih mengeluh. Banyak tugas, musti begadang ngerjain tugas, padahal kalau di ibaratkan itu bukan dari tugas kampus, melainkan tugas kampus kehidupan, apa jadinya kehidupan ini? Kondisi semrawut, tak teratur.

Ketegasan dan sikap keras yang harus ditujukan pada diri kita adalah hal utama untuk memperbaiki kehidupan sekarang ini. Ketegasan niat, siap untuk berjuang walaupun sampai berdarah-darah, beraninya untuk meninggalkan zona nyaman, adalah hal yang seharusnya ditanamkan pada tiap diri mahasiswa sekarang. Bagaimana tidak? Sekarang kita memiliki posisi yang strategis untuk membuat sebuah perubahan. Ya, perubahan. Perubahan kearah lebih baik tentunya.

Sungguh, Indonesia saat ini membutuhkan temen-temen untuk bergerak. Bergerak menggerakan kesemrawutan ini menuju keteraturan. Berharap bukan menjadi pengekor, namun PELOPOR. Juga bukan berharap akan tertinggal sejarah peadapan, namun sebagai salah satu nama-nama yang tergores dalam cetakan sejarah.

Tak ada yang instan teman, semua butuh proses. Untuk menjadi seseorang seperti halnya akhlak Tariq bin Ziyad, membutuhkan waktu untuk belajar menempa diri sehingga kuat dan tegar. Diri kita pun tak semestinya merasa “sudah cukup untuk belajar” yang terkadang berorientasi belajar dikampus, padahal sesungguhnya kampus yang sebenarnya adalah “UNIVERSITAS KEHIDUPAN”. Dimana salah satunya kita belajar untuk mengemban amanah sebagai mahasiswa, lantas kemudian berkontribusi untuk INDONESIA.
Bersama-sama meraih Ridlo-Nya dengan melakukan yang terbaik untuk negri!
Semangat Dahsyat untuk PERUBAHAN!
Atik Setyoasih

BBELAJAR DARI IBU MENGHADAPI KEHIDUPAN …

Malam itu, hujan mengguyur Jogja sangat deras. Sejak sore hingga malam sekitas jam sembilan malam hujan belum reda. Tak bertanda hujan akan reda, malah semakin deras. Membuat diri ini ditakdirkan kehujanan lagi setelah tiga malam beturut-turut basah kedinginan sepulang dari bekerja di apotek dekat tugu jogja.

Aktifitas kuliah sejak pagi sampai sore yang kemudian dilanjutkan bekerja diapotek hari itu, membuat pikiran dan fisik lumayan terkuras. Aliran darah dari ujung kaki sampai ujung kepala begitu terasa. Membuat hatipun ikut merasakan kelelahan yang luar biasa. Perjalanan pulang bekerja yang seharusnya bisa ditempuh dalam setengah jam, harus ditempuh satu jam karena derasnya hujan dan tiupan angin sepanjang perjalanan. Pelan-pelan sambil bermuhasabah.

Pintu depan rumah masih membuka seperti biasa sehingga dari luar, motor langsung bisa masuk. Menandakan memang masih ditunggu oleh bapak ibu dirumah. Ternyata memang benar, dalam keadaan terbaring tidur dengan lampu dan televisi yang masih menyala, Emak menungguiku. Terlihat kantuk sedang menyelimuti ibu setelah seharian beraktivitas.

“Walah, uwes jam sepuluh. Kok lagi bali?”

“Enggeh Mak, udan deres. Alon-alon anggone numpak motor.”

Kaki yang basah serta tangan yang masih terasa sedikit sakit karena hantaman hujan deras membuatku bergegas segera membersihkan diri. Sementara itu, seperti biasa pula, Emak mengambilkan makanan dan membuatkanku segelas teh hangat untukku. Batinku, “Allohuakbar”. Emak begitu perhatian.

“Mamak meng olah-olah kuwi. Lek di ma`em,” kemudian kembali lagi tidur.

###

Kelelahanku secara fisik serta sedikit sesaknya nafas karena banyak hal yang dipikiran, menumbuhkan keingingin tubuh ini berebahan di samping Emak. Terlihat kerutan kulit di wajah serta kelelahan yang penuh makna telah menjadikannya penuh pesona untukku. Emak mengajarkanku bahwa Aku tidak sendiirian. Ada beliau dan Allah tentunya yang selalu membersamai. Kelelahan yang kurasakan belum tentu juga seperti kelelahan yang dialami Emak. Kemungkinan Emak lebih lelah, tak hanya fisik, tapi hati dan pikiran.

“Emak, Atik mau Tanya. Emak pingin nopo supoyo seneng? “

“Ono opo to? “

“Iya, Emak pingin Atik pripun supoyo Emak seneng? “

“Yo le sinau seng tenan. Le sekolah mbayare larang. Wes direwangi nyambut gawe mlaku rena-rene nganthi awakmu cilik, ditenani. Emak pingin sesuk uripmu kepenak, ora rekoso. Emak ora arep njalok nalika awakmu duwe duwet, seng tak jalok le sinau kudu pinter terus sukses. Emak ora iso menehi duwet, meng doa supaya sukses.”
Nggeh Mak.

Kesabaran menghadapi kehidupan, kesederhanaan hidup, tak matearialistis, penuh perhatian, kerja keras tiap hari tanpa henti, mengajarkan totalitas terhadap amanah, “melayani” penuh kasih sayang, menjadi hal dari Emak yang menjadi pelajaran berharga untukku menghadapi kehidupan. Memang sekarang, Emak sudah tak secantik seperti difoto kala muda dulu, tak berkulit putih seperti kebanyakan ibu-ibu yang sering kuliat, kulitnya tak sehalus sutera dikarenakan pekerjaannya yang berat, Tapi Emak adalah inspirasiku, mengajarkan diri ini menghadapi kerasnya hidup.

Jika kita keras terhadap hidup, maka hidup ini akan lunak terhadap diri kita, tapi jika kita lemah terhadap hidup, hidup akan membuatmu lemah. Itu kata Ustadku.
Keikhlasan “melayani” keluarga tanpa mengharap imbalan kecuali Ridla-Nya, mengajarkanku akan hakikatnya diri ini adalah milik Allah yang sejatinya menjadi “pelayan” umat untuk kehidupan lebih baik.

Membahagiakan orang tua bukanlah sebuah cita-cita yang direncanakan beberapa tahun kemudian, tetapi membahagiakan kedua oang tua terutama ibu adalah hal yang diharuskan saat ini juga.

Aku sayang Emak, semoga diri kita akan bersua di Surga-Nya bersama bahagia.

Teuntuk Ibuku yang menjadi salah satu penguatku untuk tetap dijalan-Nya.