Minggu, 22 September 2013

Masihkah Bosan?

Kalau dalam kondisi seperti ini, jadi teringat sebuah petuah hati di sebuah majelis kala itu. Aku daftar jadi pendamping ospek kampus. Salah satu niatnya ingin melihat barisan baru untuk sebuah impian pekerjaan. Menjadi seorang kakak yang sejatinya masih sangat sedikit ilmu dan ingin belajar dari wajah penuh harap dari mereka.

Pekerjaan apapun itu akan berdampak disuatu saat nanti. Termasuk pendamping. Karena dengan dekat dengan mereka, kita sebagai seorang pendamping bisa mengarahkan tentang pilihan yang mereka ambil. Ah, aku merinding ketika menyebut nama ini : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Sebuah profesi untuk mengabdikan diri menyerahkan seluruh hidup dan jiwa  untuk sebuah kesehatan. Tak perlu jauh dan meluas, minimal kesehatan jiwa kita dan lingkungan sekitar. Arahan itu, ya arahan itu yang saat inipun aku masih harus belajar untuk menancapkan diri dalam hati terdalam, karena konsekuensinya pun ternyata perlu kerja keras.

Pekan ini, entah menjadi pekan yang cukup menyita fisik dan pikiran. Pekan yang disetiap waktunya lumayan susah untuk bisa tidur siang ataupun sejenak ngobrol bersama adik dirumah. Atau sejenak saja ngobrol dengan orang rumah mengenai apa yang kulakukan dimana tiap paginya sudah harus berangkat, dan tak tanggung-tanggung, malam pun menjadi waktu destinasi untuk pulang.

Pekan yang akan kudapati sebuah rutinitas. Aku pingin mengingatnya. Kita mulai. Tiap pagi bakalan akan kudapati Ibuku yang bangun terlebih dahulu dariku. Aku malu. Sepertinya Ibuku tak pernah meninggalkan sebuah ruang dapur untuk menyiapkan keperluan orang rumah. Ya, tiap pagi seperti itu. Orang pertama dalam penglihatan sebuah rutinintas adalah Ibu. Dalam hati, tanya yang menggelitik : wajah ibuku sepertinya tidak pernah menunjukkan kebosanan …

Pagi, bersama matahari yang ia seakan berjalan dalam kuasa-Nya aku pun pergi meninggalkan sebuah Dusun Triwidadi. Dari titik depan rumah menuju titik sedayu sebagai persimpangan pertama untuk ditarik garis lurus ke Balai Kota Yogyakarta. Disitulah tanah edaran ditiap pagi : menuju sebuah salah satu kampus Muhammadiyah : UAD

Dalam perjalanan sebuah “rutinitas” pun aku lihat. Aku ingin menuliskannya dalam satu pekerjaan yang sama. Pekerjaan yang berhubungan dengan Koran. Pertama, seorang pemuda yang tiap harinya berlarian ditengah mobil dan motor untuk menjualkan Koran. Aku selalu lihat wajah tu pemuda. Tampak memerah wajahnya, sehat, dan menggeliat dengan cepat berlarian memakai jaket merahnya. Ah, pekerjaannya begitu mulia pemuda itu. Menghantarkan bacaan untuk mereka yang ingin paham dengan informasi yang mereka butuhkan.

Diperempatan berikutnya. Ah, tak tanggung-tanggung lagi. Disebuah perempatan dekat dengan sebuah SMA Muhammadiyah dimana tempat “ambisi” seorang aku untuk adikku. Aku yang ingin adikku menjdi seorang aktivis seperti definisiku. Maafkan aku adik. Disitu, Aku lihat seorang Ibu-ibu yang tiap harinya juga menjual Koran. Kupandangi wajah Ibu itu, begitu keras kah hidup ini? Seorang Ibu bersama anak kecil yang selalu ia gendong dengan selendang menghantarkan pula Koran-koran untuk para pengendara motor dan mobil. Wajah ibu itu nampaknya juga tak bosan. Sungguh mulia pekerjaan ibu itu. Pertanyaannya yang menggelitik : suaminya kemana ya? Ibu itu harus juga bekerja kah sedang pekerjaan utamanya sebenarnya membawa anak yang ia gendong bukan di tempat itu? Entah …

Perempatan berikutnya, aku juga menemukan seorang laki-laki. Kisaran 30an tahun. Dengan topi warna merah yang selalu aku lihat, ia berjalan dipinggiran trotoar dekat pemberhentian mobil dan motor disaat lampu merah. Memamerkan beberapa Koran untuk dijualkan. Suatu waktu ketika waktu Subuh Aku terjang juga dalam sebuah pemenuhan amanah, kulihat dalam kondisi petang ternyata laki laki itu sudah bersiap diri. Dalam hati ku bertanya menelisik, bukankah pagi memang waktu yang dalam hadist untuk menjemput rizki-Nya.
Dalam perempatan berikutnya, kini kudapati seorang laki-laki tua yang sepertinya sudah lanjut usia. Walau hanya dengan 2 merek Koran, ia dengan begitu tenangnya berdiri disamping kanan garis pembatas jalan. Akan bergerak ataupun berjalan ketika ada pembeli memanggilnya. Ah lagi-lagi kutemui seseorang melakukan pekerjaan mulia itu. Kala itu aku ingin melihat senyumnya seorang laki laki itu. Lalu aku panggil dan membeli salah satu Koran itu. Tapi sayang kenapa beliau tak senyum, kudapati aku sadar ternyata aku yang senyum melihat laki-laki itu.

Mereka tak terlihat bosan …

Seperti hal nya sebuah mesin motor, tak jauh-jauh motorku saja. Motor kalau tidak di service ya suatu saat dititik waktu tertentu juga akan bosan. Tak tanggung-tanggung ia akan mogok atau apalah yang menandakan bahwa motor ingin di service. Motor ingin meminta haknya untuk rehat sejenak. Mengisi ruang-ruang kosong dengan pelumasan oli atau cairan lain yang ia butuhkan untuk kuat dan siap digunakan kemana saja.
Nah bagaimana dengan hati kita? Pernah dalam titik jenuh kebosanan dalam sebuah rutinitas? Kalau motor saja iya, tentu hati lebih sangat membutuhkan sebuah maintenance atau pemeliharaan agar ia senantiasa tetap kuat dan mampu menguatkan orang lain lewat tindakan yang berasal dari hati.
Maka kisah berikut bisa menjadi hikmah. Seorang rekan seperjuangan dalam pena berkisah dalam forum pendamping itu : * 

“Bapak tidak bosan kah tiap hari bekerja membukakan pintu untuk masuk keruang ini?”
Lalu Bapak itu menjawab,” Saya akan sangat dibutuhkan ketika bencana itu datang. Saya akan membukakan pintu untuk orang-orang dalam situasi genting, dimana ada seorang ibu dengan keluarga dirumah, bapak sebagai seorang kepala keluarga yang menghidupi keluarganya, seorang pemuda yang dengan impiannya akan menyelamatkan hajat orang banyak. Kalau saya menyelamatkan mereka, maka saya pun ikut andil dalam menyelamatkan hajat orang banyak pula.”

Nah, kisah itu selalu nyess dihati. Bahwa ketika kita mulai bosan dengan sebuah rutinitas, mengingat akan tujuan jangka panjang kita adalah salah satu terapinya. Sekecil apapun, seremeh apapun, sesusah apapun pekerjaan yang jadi rutinitas saat ini benar-benar akan bernilai kebaikan dan berdampak besar untuk minimal diri kita dan maksimal untuk alam ini. Dengan satu pintu gerbang : niat benar dan ikhtiar terbaik kita. Tak perlu terlalu menyiksa diri, lakukan sesuai kemampuan, karena kewajiban kita hanyalah berusaha dan masalah hasil adalah urusan Allah.

*redaksi dirubah sesuai rasa ^_^ 
gambar : gampangnyasukses.wordpress.com
@annafiahfirdaus