Minggu, 05 Mei 2013

“Legowo”




Judulnya saja yang berbahasa jawa. Namun tak kan didapati kata-kata berjejaran ini berbahasakan jawa.
Pun padahal sebenarnya aku orang Asli jawa, tepatnya bantul Yogyakarta. Lebih tepatnya lagi, Pajangan. Yang entah kenapa pula, setiap kali aku bertemu dengan orang baru, kebanyakan mereka pun tak percaya aku orang jawa. Orang arab kebanyakan mereka mengira. Sampai-sampai aku penasaran sendiri. Tanya bapak, simbah, saudara, tentang garis keturunan silsilah keluarga. Nihil. Tak ada keturunan arab.

Legowo. Ikhlas. Pesan terdepan dari Nawawi dalam warisannya. Tak bosan-bosan aku membacanya. Ya, legowo alias ikhlas. “Seng ikhlas, nduk,” sebuah nasihat yang begitu ngena. Kata yang selalu jadi kredo saat Asam laktat memenuhi otot. Saat bener-bener kerinduan akan bantal kamar pingin tidur saat udara malam jadi kawan perjalanan pulang makarya. Saat merasakan betapa ikhtiar janji-janji hati akan sebuah idealisme itu begitu berat. Ah, keluh kesah itu yang sangat butuh obat, yakni legowo.

Ikhlas bahasa umunya, legowo bahasa yang mungkin kebanyakan tahu. Ikhlas yang menurut Nawawi jadi pembeda sebuah kebiasaan dan ibadah. Bahkan diantara ibadah-ibadah itu sendiri. Sama-sama shalat dua rakaat, tapi pembedanya pada niat. Bisa Shalat subuh ataukah dzuha. Ya, bergantung pada niatnya.

Begitu pula niat itu pembeda antara adat dan ibadah. Maka, sama-sama seorang ibu tiap harinya menyiapkan segala kebutuhan keluarga bisa berbeda di mata-Nya. Sama-sama seorang aktivis yang berjuang di ruang dunia, bisa berbeda nilai di pendengaran-Nya. Sama-sama penjual Koran ditiap paginya, bahkan pak polisi yang selalu berdiri dengan rompi ijonya mengatur lalu lintas jalan akan bisa bebeda nilai di hadapan-Nya. Ya, semua bergantung pada niatnya. Sekali lagi, akan berbeda. Untuk Allah atau pencitraan di makhluk-Nya.

Maka ikhlas pun menuntut melakukan dan tidak melakukan sesuatu hanya karena-Nya. Pun, jika hari ini aku melakukan segala sesuatu yang bisa di bilang berharap sebuah pencitraan, soksibuk, sokaktivis, dan pandangan-pandangan lain dari makhluk-Nya, harapan Suami 30 meter di Surga mungkin sirna. Atau merasakan lezatnya sungai arak yang halus, manis, namun tak memabukkan seakan tergadaikan dengan kehidupan sementara ini. Ingatkanku kawan, tuk legowo. Oke!!!