Rabu, 28 Mei 2014

Ilmu, Wajib di Buru




Kenapa harus berilmu? Tentu agar amal dilakukan dengan benar. Sederhana begini, kita ingin menanak nasi tapi nggak tau gimana caranya. Seberapa ukuran berasnya, air yang dibutuhkan, berapa lama kira-kira diletakkan diatas api. Bisa jadi bukan nasi putih yang siap disantap dengan hangat. Nasi sangat lembek atau terlalu keras bahkan gosong yang terjadi. Sia-sia bukan? 

Kenapa kita harus berilmu? Tentu ia adalah pembenar niat dan pembetul amal. Kita tak tahu niat yang benar, bagaimana bisa kita berniat dengan benar. Kita juga tak paham bagaimana beramal dengan benar, bagaimana amal bisa betul? 

Ilmu adalah petunjuk untuk melakukan sesuatu dengan benar. Mengutip dari tulisannya Dr. Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya Fiqih Prioritas, sesungguhnya ilmu pengetahuan mesti didahulukan atas amal perbuatan. Pembeda antara yang haq dan bathil dalam keyakinan. Pembeda antara benar dan salah dalam perkataan mereka. Pembetul tindakan halal dan petunjuk tindakan haram. Nah, sangat penting bukan kita harus berilmu?
 
Ilmu adalah dasar kita bertindak agar berlaku benar. Tanpa ilmu, malah kerusakan dan kesia-siaan yang kita perbuat. Seperti ucapan khalifah Umar bin Abd al-Aziz, “Barang siapa melakukan suatu pekerjaan tanpa ilmu pengetahuan tentang itu maka apa yang dia rusak lebih banyak dari pada apa yang kita perbaiki. Bukankah alat penanak nasi bisa rusak ketika kita pakai dengan tanpa ilmu? Apalagi kalau kita melakukan sesuatu yang besar dan penting tanpa ilmu, kerusakan pasti terjadi dimana-mana. 

Guru, harus Berilmu
Berdetik-detik, bermenit-menit, berjam-jam, berhari-hari, bahkan dalam hitungan kumpulan bulan dan tahun seorang guru mengajar dikelas. Untuk banyak pasang mata, pasang telinga, dan terutama hati mereka. Bisa dibayangkan ketika guru mengajar tanpa landasan yang benar? Tanpa hujjah yang nyata?

Kita sebagai guru adalah pusat ilmu dalam kelas-kelas atau forum-forum kajian. Maka dari itu, tanpa ilmu yang benar, apa yang kita ajarkan? Kita harus berilmu supaya tak salah mendidik. Menyampaikan nilai-nilai kebenaran dengan cara terbaik supaya terbentuk insan terbaik. Menjadikan pondasi-pondasi penanak nasi yang memiliki ilmu. Insan manusia yang tidak membuat kerusakan. Justru kebaikan akan tertanam dimanapun anak berada.

Kita harus mengetahui kemana anak didik dibawa. Siapa Rabb mereka. Siapa pencipta mereka dan untuk apa mereka di cipta. Kita adalah rabbani. Guru adalah sempurna ilmunya dan bertaqwa. Seorang Guru adalah rabbani karena mengajar kitab bersebab mempelajarinya. 

“…, “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani (yang sempurna ilmu dan taqwanya kepada Allah)
, karena kamu selalu mengajarkan  al-Kitab dan disebabkan kamu telah mengajarinya.”
(QS Al-Imran : 79)


Definisi lain rabbani yang ditulis Dr. Yusuf Qardhawi dalam bukunya ialah orang yang mengajar dengan ilmu kecilnya, sebelum ilmu besar. Ilmu kecil yang dimaksud adalah ilmu sederhana, namun jelas penjelasannya. Ilmu menanak nasi juga termasuk ilmu kecil. Ilmu yang kita butuhkan sehingga tak berbuat kerusakan. Baik pada nasi itu sendiri atau alatnya. Ilmu yang ditulis dalam tulisan ini juga tulisan sederhana.

Mengajar adalah sebuah seni mendidik agar dekat dengan nilai-nilai kebenaran. Membutuhkan proses dan tentu bertahap serta memperhatikan kondisi dan kemampuan anak didik. Seorang anak berumur masih belia, tentu ilmu sederhana bagaimana birrulwalidain tentu lebih dibutuhkan. Kabar gembira tentang adanya Surga untuk orang beriman tentu akan membuat anak didik semakin cinta dengan RabbNya.

Yuk selalu berburu ilmu, walau sebatas bagaimana menanak nasi. Itu baru ilmu dunia. Ilmu yang sifatnya Fardhu harus menjadi prioritas nomor satu. Ilmu bagaimana beribadah kepada Allah sesuai tuntunan Rasulullah. Agar tak salah, tak sia-sia, dan tertolak. Nah!

Sumber Ilmu : Qardhawi, Yusuf. FIQIH PRIORITAS : Sebuah Kajian Baru Berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah. Penj : Bahruddin F—Jakarta : Rabbani Press


Annafi`ah Firdaus