Kenapa harus berilmu? Tentu agar
amal dilakukan dengan benar. Sederhana begini, kita ingin menanak nasi tapi
nggak tau gimana caranya. Seberapa ukuran berasnya, air yang dibutuhkan, berapa
lama kira-kira diletakkan diatas api. Bisa jadi bukan nasi putih yang siap
disantap dengan hangat. Nasi sangat lembek atau terlalu keras bahkan gosong
yang terjadi. Sia-sia bukan?
Kenapa kita harus berilmu? Tentu ia
adalah pembenar niat dan pembetul amal. Kita tak tahu niat yang benar,
bagaimana bisa kita berniat dengan benar. Kita juga tak paham bagaimana beramal
dengan benar, bagaimana amal bisa betul?
Ilmu adalah petunjuk untuk melakukan
sesuatu dengan benar. Mengutip dari tulisannya Dr. Yusuf Al-Qardhawi dalam
bukunya Fiqih Prioritas, sesungguhnya ilmu pengetahuan mesti didahulukan atas
amal perbuatan. Pembeda antara yang haq dan bathil dalam keyakinan. Pembeda
antara benar dan salah dalam perkataan mereka. Pembetul tindakan halal dan
petunjuk tindakan haram. Nah, sangat penting bukan kita harus berilmu?
Ilmu adalah dasar kita bertindak
agar berlaku benar. Tanpa ilmu, malah kerusakan dan kesia-siaan yang kita
perbuat. Seperti ucapan khalifah Umar bin Abd al-Aziz, “Barang siapa melakukan
suatu pekerjaan tanpa ilmu pengetahuan tentang itu maka apa yang dia rusak
lebih banyak dari pada apa yang kita perbaiki. Bukankah alat penanak nasi bisa
rusak ketika kita pakai dengan tanpa ilmu? Apalagi kalau kita melakukan sesuatu
yang besar dan penting tanpa ilmu, kerusakan pasti terjadi dimana-mana.
Guru, harus Berilmu
Berdetik-detik, bermenit-menit,
berjam-jam, berhari-hari, bahkan dalam hitungan kumpulan bulan dan tahun
seorang guru mengajar dikelas. Untuk banyak pasang mata, pasang telinga, dan
terutama hati mereka. Bisa dibayangkan ketika guru mengajar tanpa landasan yang
benar? Tanpa hujjah yang nyata?
Kita sebagai guru adalah pusat ilmu
dalam kelas-kelas atau forum-forum kajian. Maka dari itu, tanpa ilmu yang
benar, apa yang kita ajarkan? Kita harus berilmu supaya tak salah mendidik.
Menyampaikan nilai-nilai kebenaran dengan cara terbaik supaya terbentuk insan
terbaik. Menjadikan pondasi-pondasi penanak nasi yang memiliki ilmu. Insan
manusia yang tidak membuat kerusakan. Justru kebaikan akan tertanam dimanapun
anak berada.
Kita harus mengetahui kemana anak
didik dibawa. Siapa Rabb mereka. Siapa pencipta mereka dan untuk apa mereka di
cipta. Kita adalah rabbani. Guru adalah sempurna ilmunya dan bertaqwa. Seorang
Guru adalah rabbani karena mengajar kitab bersebab mempelajarinya.
“…, “Hendaklah kamu menjadi
orang-orang rabbani (yang sempurna ilmu dan taqwanya kepada Allah)
, karena kamu selalu
mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu
telah mengajarinya.”
(QS Al-Imran : 79)
Definisi lain rabbani yang ditulis
Dr. Yusuf Qardhawi dalam bukunya ialah orang yang mengajar dengan ilmu
kecilnya, sebelum ilmu besar. Ilmu kecil yang dimaksud adalah ilmu sederhana,
namun jelas penjelasannya. Ilmu menanak nasi juga termasuk ilmu kecil. Ilmu
yang kita butuhkan sehingga tak berbuat kerusakan. Baik pada nasi itu sendiri
atau alatnya. Ilmu yang ditulis dalam tulisan ini juga tulisan sederhana.
Mengajar adalah sebuah seni
mendidik agar dekat dengan nilai-nilai kebenaran. Membutuhkan proses dan tentu
bertahap serta memperhatikan kondisi dan kemampuan anak didik. Seorang anak berumur
masih belia, tentu ilmu sederhana bagaimana birrulwalidain
tentu lebih dibutuhkan. Kabar gembira tentang adanya Surga untuk orang beriman
tentu akan membuat anak didik semakin cinta dengan RabbNya.
Yuk selalu berburu ilmu, walau
sebatas bagaimana menanak nasi. Itu baru ilmu dunia. Ilmu yang sifatnya Fardhu harus menjadi prioritas nomor
satu. Ilmu bagaimana beribadah kepada Allah sesuai tuntunan Rasulullah. Agar
tak salah, tak sia-sia, dan tertolak. Nah!
Sumber Ilmu : Qardhawi,
Yusuf. FIQIH PRIORITAS : Sebuah Kajian
Baru Berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah. Penj : Bahruddin F—Jakarta :
Rabbani Press
Annafi`ah Firdaus