Selasa, 25 Juni 2013

Berpindah Mulia


Cinta. Banyak definisinya. Ia bisa di jabarkan oleh siapapun yang sedang tergila-gila olehnya. Entah cinta yang mana. Cinta yang bagiku “cengeng” atau cinta yang begitu dahsyat hingga jiwanya ia pertaruhkan demi yang ia cintai. Yang kedua inilah yang aku sebut perjuangan. Kosa kata yang sejenak berfikir lalu tertawa, betapa masih dangkalnya definisi perjuangan dalam kamusku. Apalagi dalam penerapannya.

Baiklah. Aku tak akan membahas yang pertama. Cinta yang cengeng, cinta yang mendzolimi, cinta yang rapuh, cinta yang bagiku tak perlu dibahas ketika memang kita belum siap membahasnya untuk kehidupan kita sekarang. Bukankah masih banyak cinta-cinta yang bisa kita bahas. Cinta tuk gapai asa, impian, kebahagiaan dan kesuksesan di masa mendatang. Itulah cinta yang terwujud dalam perjuangan. Sebuah ikhtiar untuk membahagiakan orang-orang yang layak kita beri apa yang membuat bahagia. Dan tentu membuat mereka tambah mencintai kita. Rela selalu mendoakan sebuah kebaikan untuk kita ditiap kondisi apapun. Siapakah dia?

Jadi teringat kisah seorang yang begitu mudah berlain hati :“Ya Rasullullah”, kata Umar, “Mulai saat ini engkau lebih kucintai daripada apapun di dunia ini.”

Taukah, padahal sebelumnya Umar bin Khatab berbicara pada Rasulullah bahwa ia mencintai Baginda Nabi seperti dirinya sendiri. Ya, seperti dirinya sendiri. Tetapi, Rasullah memintanya agar ia lebih mencintai Rasul daripada dirinya sendiri dan bahkan keluarganya. Begitu mudah kemudian Umar mengubah cintanya dari yang pertama. Tanpa pikir panjang, apalagi kali lebar. Tak menghiraukan keluarganya, yang ia yakini bahwa mencintai Rasulullah adalah sebuah kemuliaan. Ya, kemuliaan baginya yang merupakan harga diri yang harus dijaga untuk Rabb dan Rasul-Nya. Pernah kita melakukannya? Mengubah perasaan cinta karena sebab mulia itu.

Cinta memang seni. Seni untuk mencintai. Ya, bagiku hanya mencintai saja. Tak memedulikan apakah ia mencintai kita atau tidak. Ia? Bentar, ia siapa maksudnya. Nah inilah. Cinta berseni membutuhkan pengetahuan dan perjuangan. Tak serta merta dengan hanya melihat paras wajahnya tanpa mengetahui apa yang ada didalam hatinya. Kemudian dengan dangkal kita dengan mudah mencintainya.

Butuh pengetahuan serta alasan apakah ia (seorang manusia itu) lebih pantas di cintai, sedangkan Allah dan orang-orang yang sudah berjasa pada kita tak kita cintai melebihi cinta yang cengeng itu. Orang tua, sahabat sejenis kita, dan impian kita.

Cinta selalu datang disertai alasan. Maka mari kita selalu tilik, apakah alasan kita mencintai sudah benar. Maka jika alasan itu begitu rapuh dan cengeng, mari kita beranjak menuju alasan-alasan yang begitu menegakkan dan mengokohkan kita sebagai seseorang yang bisa menjaga kehormatan kita. Sebuah harga diri (izzah) untuk kita tak perlu bersusah-susah menebar pesona luar saja. Karena dengan sendirinya, pesona dalam yang kuat dan tak tergadaikan dengan cinta yang cengeng itu, akan dengan sendirinya menjadi indah di mata-Nya dan semua makhluk.

Hanya ada satu kegilaan cinta yang pantas kita rasakan. Cinta pada-Nya, Rasul-Nya, ilmu, belajar, kebaikan, impian, dan perjuangan itu sendiri. Susah memang. Dan itulah mengapa Cinta yang suci dan bening itu kita upayakan dengan sepenuh jiwa dan raga kita. Cinta adalah kata kerja. Bukan kata benda yang menjadikan kita diperbudak oleh nafsu kita.
Sedang cinta kepada apapun yang menjadi titipan dari-Nya cukup sekedarnya saja. Tak berlebihan ataupun kekurangan. Karena Allah mengetahui apa yang terbaik kita. Hanya ikhitiar dan doa yang bisa kita lakukan untuk kebahagian diri kita dan orang-orang yang layak kita cintai.

“… Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu amat buruk bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu amat buruk bagimu…” QS [1: 216]

Terisnpirasi dari Jalan Cinta Para Pejuang -Salim A Fillah
dan terpantik menuliskannya untuk seorang sahabat. Pun aku selalu berusaha mengindahkan dan menghidupi apa yang kutulis.