Kalau dalam kondisi seperti ini,
jadi teringat sebuah petuah hati di sebuah majelis kala itu. Aku daftar jadi
pendamping ospek kampus. Salah satu niatnya ingin melihat barisan baru untuk
sebuah impian pekerjaan. Menjadi seorang kakak yang sejatinya masih sangat
sedikit ilmu dan ingin belajar dari wajah penuh harap dari mereka.
Pekerjaan apapun itu akan
berdampak disuatu saat nanti. Termasuk pendamping. Karena dengan dekat dengan
mereka, kita sebagai seorang pendamping bisa mengarahkan tentang pilihan yang
mereka ambil. Ah, aku merinding ketika menyebut nama ini : Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Sebuah profesi untuk
mengabdikan diri menyerahkan seluruh hidup dan jiwa untuk sebuah kesehatan. Tak perlu jauh dan
meluas, minimal kesehatan jiwa kita dan lingkungan sekitar. Arahan itu, ya
arahan itu yang saat inipun aku masih harus belajar untuk menancapkan diri
dalam hati terdalam, karena konsekuensinya pun ternyata perlu kerja keras.
Pekan ini, entah menjadi pekan yang
cukup menyita fisik dan pikiran. Pekan yang disetiap waktunya lumayan susah
untuk bisa tidur siang ataupun sejenak ngobrol bersama adik dirumah. Atau
sejenak saja ngobrol dengan orang rumah mengenai apa yang kulakukan dimana tiap
paginya sudah harus berangkat, dan tak tanggung-tanggung, malam pun menjadi
waktu destinasi untuk pulang.
Pekan yang akan kudapati sebuah
rutinitas. Aku pingin mengingatnya. Kita mulai. Tiap pagi bakalan akan kudapati
Ibuku yang bangun terlebih dahulu dariku. Aku malu. Sepertinya Ibuku tak pernah
meninggalkan sebuah ruang dapur untuk menyiapkan keperluan orang rumah. Ya,
tiap pagi seperti itu. Orang pertama dalam penglihatan sebuah rutinintas adalah
Ibu. Dalam hati, tanya yang menggelitik : wajah ibuku sepertinya tidak pernah menunjukkan
kebosanan …
Pagi, bersama matahari yang ia
seakan berjalan dalam kuasa-Nya aku pun pergi meninggalkan sebuah Dusun
Triwidadi. Dari titik depan rumah menuju titik sedayu sebagai persimpangan
pertama untuk ditarik garis lurus ke Balai Kota Yogyakarta. Disitulah tanah
edaran ditiap pagi : menuju sebuah salah satu kampus Muhammadiyah : UAD
Dalam perjalanan sebuah “rutinitas”
pun aku lihat. Aku ingin menuliskannya dalam satu pekerjaan yang sama. Pekerjaan
yang berhubungan dengan Koran. Pertama, seorang pemuda yang tiap harinya
berlarian ditengah mobil dan motor untuk menjualkan Koran. Aku selalu lihat
wajah tu pemuda. Tampak memerah wajahnya, sehat, dan menggeliat dengan cepat
berlarian memakai jaket merahnya. Ah, pekerjaannya begitu mulia pemuda itu.
Menghantarkan bacaan untuk mereka yang ingin paham dengan informasi yang mereka
butuhkan.
Diperempatan berikutnya. Ah, tak
tanggung-tanggung lagi. Disebuah perempatan dekat dengan sebuah SMA
Muhammadiyah dimana tempat “ambisi” seorang aku untuk adikku. Aku yang ingin
adikku menjdi seorang aktivis seperti definisiku. Maafkan aku adik. Disitu, Aku
lihat seorang Ibu-ibu yang tiap harinya juga menjual Koran. Kupandangi wajah
Ibu itu, begitu keras kah hidup ini? Seorang Ibu bersama anak kecil yang selalu
ia gendong dengan selendang menghantarkan pula Koran-koran untuk para
pengendara motor dan mobil. Wajah ibu itu nampaknya juga tak bosan. Sungguh mulia
pekerjaan ibu itu. Pertanyaannya yang menggelitik : suaminya kemana ya? Ibu itu
harus juga bekerja kah sedang pekerjaan utamanya sebenarnya membawa anak yang
ia gendong bukan di tempat itu? Entah …
Perempatan berikutnya, aku juga
menemukan seorang laki-laki. Kisaran 30an tahun. Dengan topi warna merah yang
selalu aku lihat, ia berjalan dipinggiran trotoar dekat pemberhentian mobil dan
motor disaat lampu merah. Memamerkan beberapa Koran untuk dijualkan. Suatu
waktu ketika waktu Subuh Aku terjang juga dalam sebuah pemenuhan amanah,
kulihat dalam kondisi petang ternyata laki laki itu sudah bersiap diri. Dalam
hati ku bertanya menelisik, bukankah pagi memang waktu yang dalam hadist untuk
menjemput rizki-Nya.
Dalam perempatan berikutnya, kini
kudapati seorang laki-laki tua yang sepertinya sudah lanjut usia. Walau hanya
dengan 2 merek Koran, ia dengan begitu tenangnya berdiri disamping kanan garis
pembatas jalan. Akan bergerak ataupun berjalan ketika ada pembeli memanggilnya.
Ah lagi-lagi kutemui seseorang melakukan pekerjaan mulia itu. Kala itu aku
ingin melihat senyumnya seorang laki laki itu. Lalu aku panggil dan membeli
salah satu Koran itu. Tapi sayang kenapa beliau tak senyum, kudapati aku sadar
ternyata aku yang senyum melihat laki-laki itu.
Mereka tak terlihat bosan …
Seperti hal nya sebuah mesin
motor, tak jauh-jauh motorku saja. Motor kalau tidak di service ya suatu saat dititik waktu tertentu juga akan bosan. Tak
tanggung-tanggung ia akan mogok atau apalah yang menandakan bahwa motor ingin di
service. Motor ingin meminta haknya
untuk rehat sejenak. Mengisi ruang-ruang kosong dengan pelumasan oli atau
cairan lain yang ia butuhkan untuk kuat dan siap digunakan kemana saja.
Nah bagaimana dengan hati kita?
Pernah dalam titik jenuh kebosanan dalam sebuah rutinitas? Kalau motor saja
iya, tentu hati lebih sangat membutuhkan sebuah maintenance atau pemeliharaan agar ia senantiasa tetap kuat dan
mampu menguatkan orang lain lewat tindakan yang berasal dari hati.
Maka kisah berikut bisa menjadi
hikmah. Seorang rekan seperjuangan dalam pena berkisah dalam forum pendamping
itu : *
“Bapak tidak bosan kah tiap hari
bekerja membukakan pintu untuk masuk keruang ini?”
Lalu Bapak itu menjawab,” Saya
akan sangat dibutuhkan ketika bencana itu datang. Saya akan membukakan pintu
untuk orang-orang dalam situasi genting, dimana ada seorang ibu dengan keluarga
dirumah, bapak sebagai seorang kepala keluarga yang menghidupi keluarganya,
seorang pemuda yang dengan impiannya akan menyelamatkan hajat orang banyak.
Kalau saya menyelamatkan mereka, maka saya pun ikut andil dalam menyelamatkan
hajat orang banyak pula.”
Nah, kisah itu selalu nyess dihati. Bahwa ketika kita mulai
bosan dengan sebuah rutinitas, mengingat akan tujuan jangka panjang kita adalah
salah satu terapinya. Sekecil apapun, seremeh apapun, sesusah apapun pekerjaan
yang jadi rutinitas saat ini benar-benar akan bernilai kebaikan dan berdampak
besar untuk minimal diri kita dan maksimal untuk alam ini. Dengan satu pintu
gerbang : niat benar dan ikhtiar terbaik kita. Tak perlu terlalu menyiksa diri,
lakukan sesuai kemampuan, karena kewajiban kita hanyalah berusaha dan masalah
hasil adalah urusan Allah.
*redaksi dirubah sesuai rasa ^_^
gambar : gampangnyasukses.wordpress.com
@annafiahfirdaus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar